Sabtu, 25 April 2020


LGBT? “Penyimpangan Seksual” Di Indonesia Yang Masih Perlu Diamati

QS. Al-A’raf Ayat 80
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ أَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"

Pasti kita sudah tidak asing mendengar kata LGBT, tapi apa itu sebenarnya LGBT itu? LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisex, dan Transgender. Sebelum membahas lebih jauh mari kita lihat sepintas sejarah dari LGBT sendiri. Seperti kutipan ayat al-quran bahwa homoseksualitas diawali oleh kaum nabi Luth AS dengan perkiraan tahun 3500 - 2350 SM. Kemudian pada tahun 1968 Asosiasi Psikiater AS (APA) pertama kali menggolongkan homoseksualitas sebagai penyakit jiwa. Hingga akhirnya tahun 1973 "APA" mencoret homoseksualitas dari DSM tapi masih disebut gangguan orientasi seksual, dan akhirnya mencoret dari DSM tanpa keterangan khusus di 1987. Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) juga turut ikut berkontribusi dalam penghapusan LGBT sebagai gangguan jiwa pada 2014.
            Jumlah LGBT di Indonesia mulai meningkat dari tahun ke tahun hingga akhirnya pada beberapa tahun ini isu ini merupakan topik pembicaraan yang sering dibincangkan, mulai dari penangkapan, dikriminasi, pelecehan, hingga pembunuhan mencuat di berita. Perundang-undangan yang masih belum jelas membuat pemerintah akhirnya segera membuat Draf RUU tentang Ketahanan Keluarga yang didalamnya juga berisi terkait "penyimpangan seksual". Hal ini merupakan kontributor pada penularan penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, gonore, sifilis, dsb. Pemerintah kemudian mengadakan program pemberantasan penyakit menular (P2M).
Di Indonesia LGBT masih di kategorikan sebagai penyimpangan seksual dari hukum, norma, hingga etika sosisal. Penyimpangan ini dapat mulai terjadi pada usia remaja awal hingga dewasa tua. Bagaimana seseorang bisa menjadi LGBT? Ada beberapa faktor seperti:
a.Factor keluarga
b.Factor lingkungan
c.Factor genetic
Pencegahan agar tidak terjadinya penyimpangan seksual dapat dimulai terutama dari peran keluarga terutama kasih saying ayah & ibu dengan pola asuh yang baik, menjelaskan edukasi seks ke anak, memperlakukan sesuai jenis kelaminnya. Pemilihan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang anak serta mencegah tereksposnya anak dengan pornografi. Pendekatan secara agama juga dapat dilakukan dengan memperkuat iman.
Kampanye berisi edukasi terkait LGBT berupa poster, majalah, seminar, program TV merupakan hal yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengajak orang lain agar mau mencari pertolongan untuk mengobati dirinya. Pengobatan untuk LGBT masih “belum ditemukan” tetapi ada beberapa terapi yang pernah dilakukan seperti lobotomy, kastrasi, terapi setrum, induksi muntah, yang lebih modern ada pemberian hormon. Pencegahan merupakan hal utama yang dapat dilakukan agar seseorang tidak menjadi LGBT.
Walaupun tidak ada agama yang memperbolehkan LGBT setidaknya kita tidak men-judge apalagi tidak memanusiakan orang lain. Mungkin orang tersebut menjadi seperti itu bukan kehendak dari mereka sendiri, mungkin paksaan dari lingkungan, untuk memenuhi kebutuhan hidup, luka dari perjalanan hidup yang traumatis. Merangkul mereka yang membutuhkan akan lebih baik daripada menghujat apalagi menghakimi. After all we’re human, we need each other.

“Hate the sin, not the sinner.
People can still change to be better”

Daftar Pustaka
Susan D. Cochran, et al. WHO Policy & Practice “Proposed declassification of disease categories related to sexual orientation in the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-11)”. 2014. https://www.who.int/bulletin/volumes/92/9/14-135541.pdf diakses 25 April 2020 pukul 00:43
Mochamad I. Nurmansyah, et al. Role of Family, Society and Media as a Source of Information on Reproductive Health Amongst University Students. 2012.
Resmiwaty. JURNAL ACADEMICA Fisip Untad Vol I “KELUARGA SEBAGAI LEMBAGA SOSIALISASI KESEHATAN REPRODUKSI”. 2009.
Quran Surat Al-A’raf Ayat 80

Penulis : MUCHAMMAD SULTHON YASSAR TAWASULLOH | 21601101084

13 komentar:

  1. terima kasih sulthon atas artikelnya.. saya Nabila Ainur Rochim 21601101053 izin bertanya, pencegahan sedari kecil mulai dari peran ayah dan ibu sebagai role model anak. Adakah proses pembentukan suatu perilaku pada anak? mungkin bisa dijelaskan sulthon.. terima kasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      ya benar pada usia anak-anak mereka lebih banyak belajar dengan cara meniru (imitating) role model, nah siapakah role modelnya? banyak, mulai dari orang tua yaitu ayah dan ibu, kemudian saudara yang lebih tua, di sekolah ada guru. secara tidak langsung hal ini dapat membentuk suatu perilaku dasar pada anak.Terdapat empat proses yang terlibat dalam proses
      modelling ini, yaitu;
      1) Attention: merupakan perhatian yang dilakukan oleh individu dalam mengamati perilaku. Anak menonton tayangan laki-laki gemulai secara terus menerus akan menimbulkan kesan inderawi. mereka melihat dan mendengar bagaimana perilaku gemulai itu dilakukan.
      2) retention: Retention merupakan penyimpanan memori atau ingatan terhadap apa yang mereka tiru. Kesan yang didapat melalui atensi akan tersimpan di dalam memory. Pengetahuan yang baru dimiliki ini tersimpan dengan sendirinya dan dapat dipanggil lagi saat dibutuhkan.
      3) production: merupakan hasil dari atensi yang sudah diretensi. Remaja dapat melakukan gerakan2 tertentu setelah memiliki pengetahuan di dalam memorinya. Perilaku anak akan menghasilkan apa yang sudah mereka lihat dan tersimpan di dalam memori. Perilakunya diproduksi secara berulang ulang
      hingga akhirnya menjadi perilaku yang terbiasa.
      4) motivation: merupakan dorongan yang membuat mereka berperilaku gemulai tersebut. Motivasi akan muncul manakala
      - pertama, terjadi penguatan seperti paparan terdahulu. Remaja yang “diterima” di masyarakat dengan perilaku demikian cenderung akan melakukannya lagi
      -kedua, memiliki tujuan tertentu, seperti membuat perilaku tandingan yang dapat menjadi trend setter
      -ketiga, ingin seperti sosok yang diidolakannya.

      Hapus
    2. terima kasih sulthon atas jawabannya.. semoga mendapat ilmu yang manfaat barokah dunia dan akhirat.. Aamiin..

      Hapus
  2. Terima kasih sulthon artikelnya juga bagus, memang tidak ada agama yang membenarkan hubungan sesama jenis, namun perlu diketahui bukan berarti hal tersebut menjadi dasar stigma buruk bahwa LGBT sepenuhnya disalahkan, dan saya juga menemui kasus adanya perubahan orientasi seksual pada korban kekerasan dalam rumah tangga, nah disini yang ingin saya tanyakan apakah seseorang dengan orientasi seksual yang menyimpang berhak memiliki fasilitas kesehatan yang semestinya? dan bagaimana pendapat anda tentang hubungan HAK ASASI MANUSIA di Indonesia dengan LGBT, terima kasiii

    Denatha Bagus A.M./21601101030

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      Apakah seseorang dengan orientasi seksual yang menyimpang berhak memiliki fasilitas kesehatan yang semestinya? Ya, seseorang dengan orientasi seksual yang menyimpang wajib dan berhak untuk memiliki fasilitas kesehatan yang semestinya. Dan pendapat saya tentang hubungan HAK ASASI MANUSIA di Indonesia dengan LGBT, pertanyaan yang sangat bagus dan “berbahaya”. Saya akan menjawab sepengetahuan saya dan berusaha menjawab senetral mungkin tanpa memihak pada satu golongan tertentu atau yang lainnya. Kita berbicara tentang hak terlebih dahulu yang sepemahaman saya yakni hak adalah suatu keistimewaan, hal yang mutlak yang penggunaannya tergantung kepada kita sendiri dan kita peroleh saat kandungan atau sebelum lahir. Dengan pengertian tersebut maka seharusnya semua individu yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia entah itu individu normal atau dengan penyimpangan maka mereka semua mempunyai Hak Asasi Manusia yang sama. Sepengetahuan saya tentang HAM yang mendukung LGBT di Indonesia masih belum terlalu terlihat dan sepertinya masih belum ada, malah sebaliknya peraturan-peraturan yang dibuat seakan-akan menyatakan bahwa orang dengan penyimpangan seksual adalah kejahatan yang tidak pantas berada di wilayah-wilayah Indonesia. Dan yang seharusnya mereka-mereka yang sangat butuh pertolongan dapat kita bantu dengan adanya pelaksanaan HAM yang jelas di Indonesia. Karena seperti yang telah saya tulis “Mungkin orang tersebut menjadi seperti itu bukan kehendak dari mereka sendiri, mungkin paksaan dari lingkungan, untuk memenuhi kebutuhan hidup, luka dari perjalanan hidup yang traumatis. Merangkul mereka yang membutuhkan akan lebih baik daripada menghujat apalagi menghakimi.”

      Hapus
  3. Izin bertanya sulton, dulu saya pernah mendengar tentang terapi konversi,bagaimana pendapat anda tentang itu dan mungkin bisa sedikit dijelaskan apa itu terapi konversi?
    Fathul mun'iem 21701101074

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      “APA” mendefinisikan terapi konversi atau disebut juga terapi reparatif, sebagai terapi yang bertujuan mengubah orientasi seksual darihomoseksual atau biseksual menjadi heteroseksual. Di artikel sudah dijelaskan bahwa “APA” tidak memasukkan homoseksual sebagai gangguan jiwa dan mereka juga tidak menyetujui adanya praktik terapi konversi. Psikolog Douglas Haldeman menulis dalam "Terapi Konversi Orientasi Seksual untukHomoseksual" bahwa terapi konversi terdiri dari upaya profesional kesehatan mental dan penyedia pelayanan pastoral untuk mengkonversi homoseksual menjadi heteroseksual. awal terapi konversi modifikasi perilaku terutama menggunakan aversive conditioning techniques. dengan teknik-teknik seperti penerapan sengatan listrik ke tangandan/atau alat kelamin, atau pemberian obat perangsang mual, yang diberikan secara bersamaan dengan stimulus homoerotik, rekondisi masturbasi, visualisasi, pelatihanketrampilan sosial, terapi psikoanalitik, dan intervensi spiritual. Terapi ini bertujuanuntuk mengubah orientasi seksual agar sesuai dengan identitas gender biologisnya. Haldeman juga menambahkan bahwa metode tersebut jika diterapkan pada siapa pun kecuali orang- orang gay akan disebut penyiksaan. Semua metode ini didasarkan pada gagasan bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang dipelajari yang dapat direkondisi.

      Hapus
  4. Terimaksih Sulthon artikelnya cukup menarik. Saya mau tanya bagaimana cara menyikapi jika diLingkungan kita atau bahkan di pertemanan kita terdapat orang dengan perilaku menyimpang tersebut ? dan dukungan seperti apa yang dapat kita berikan ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      Pendapat saya tentang bagaimana kita menyikapinya adalah bersikap biasa, selayaknya kita menghadapi kehidupan sosial. Orang dengan penyimpangan seksual juga memiliki kehidupan seperti layaknya orang pada umumnya, tetapi kita harus siap menyikapi permasalahan-permasalahan yang akan datang pada kehidupan social yang manyangkut LGBT.
      Ketika kita memiliki lingkungan atau ruang lingkup pertemanan yang ada perilaku menyimpang, kita harus mengetahui apakah diri kita sendiri dapat dan siap membantu secara aktif atau tidak. Ketika kita tidak dapat mendukung atau membantu setidaknya kita tidak mendiskriminasi atau menjatuhkan mereka. Hal hal yang dapat kita bantu semisal ada permasalahan kita cukup membantu semampu kita layaknya kehidupan bermasyarakat. Apabila ternyata teman kita memiliki perilaku menyimpang setidaknya kita tidak bosan-bosannya untuk memberitahu atau memberi nasihat untuk meluruskan hal tersebut tanpa adanya pemaksaan. Pendekatan sesuai agama juga dapat dilakukan agar teman kita menjadi lebih terbuka.

      Hapus
  5. artikelnya menarik, saya Almas Naqiyata Ain / 21601101022 , izin bertanya mohon jelaskan lebih detail tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi LGBT
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      a.Factor keluarga
      Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi anak. Jika seorang anak mengalami kekerasan di lingkungan keluarganya, hal ini bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan dia menjadi LGBT. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang mendapatkan perlakukan kasar dari ayah atau saudara laki-lakinya akan berpikir untuk membenci lawan jenisnya. Alhasil, dia memilih untuk hidup sebagai LGBT karena pengalaman hidup yang tidak mengenakkan. Selain itu, jika kedua orang tua memberikan pendidikan agama dan moral yang baik, hal ini akan membentengi seseorang untuk menyimpang menjadi LGBT.

      b.Factor lingkungan
      Faktor lingkungan bisa memicu terjadinya LGBT, misalnya saja karena salah pergaulan. Dalam berteman, sudah selayaknya kita memilih teman yang memiliki perilaku baik. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut menjadi anggota LGBT disebabkan faktor pengaruh teman. Jadi, lingkungan dan kebiasaan menjadi faktor pemicu dan adanya pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia juga bisa menyebabkan penyimpangan perilaku ini terjadi.

      c.Factor genetic
      pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom. Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan.

      Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap perilaku LGBT. Kadar hormon testosteron yang rendah dalam tubuhnya, bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.

      Hapus
  6. Terimakasih atas artikelnya yg sangat menarik sulthon.. ijin9 bertanya ya bisa disebutkan adakah pasal2 yang berkaitan dengan penyimpangan seksual di draf RUU tentang ketahanan keluarga ?
    terimakasih
    Alisa Qotrunnada K/21601101050

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih pertanyaan-nya saya akan mencoba menjawab.
      Draf RUU tentang Ketahanan Keluarga
      Pasal 87
      Setiap Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.

      Pasal 88
      Lembaga rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dan Pasal 87 untuk Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat yang ditunjuk oleh Badan yang menangani Ketahanan Keluarga.
      Pasal 85
      Ayat (1)
      Yang adalah dimaksud dorongan dengan "penyimpangan kepuasan seksual" seksual yang ditunjukkan tidak lazim atau dengan cara-cara tidak wajar, meliputi antara lain:
      a. Sadisme adalah mendapatkan cara kepuasan seseorang untuk seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
      b. Masochisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
      c. Homosex (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial dimana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
      d. Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.

      Hapus