Jumat, 24 April 2020


JAMBAN SEHAT UNTUK KELUARGA SEHAT DEMI INDONESIA SEHAT

UNICEF mengatakan, seperempat dari semua anak di Indonesia yang berusia di bawah 5 tahun menderita diare dan 140.000 balita meninggal setiap tahunnya akibat diare. Penyebab utama terjadinya diare pada anak adalah hygiene dan sanitasi yang buruk. Berawal dari perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS)/Open Defecation yang menyebabkan pencemaran lingkungan di sumber air. Sehingga, akan mengkontaminasi pasokan air bersih dan mendukung terjadinya penyebaran penyakit seperti, tifus, cacingan, bahkan diare. Golongan yang paling rentan terkena penyakit-penyakit ini adalah anak-anak dan balita. Dalam WHO/UNICEF JMP Progress on Drinking Water, Sanitation and Hygiene: 2017 Update and SDG baseline disebutkan bahwa di tahun 2015, sekitar 12% atau 892 juta orang di seluruh  dunia masih melakukan BABS/Open Defecation. Di Indonesia sendiri, sebanyak 9,36% atau hampir 25 juta penduduknya tidak menggunakan toilet untuk Buang Air Besar (BAB), melainkan di sungai, semak, parit, dan ruang terbuka lainnya. Oleh karena itu, penting bagi sebuah keluarga untuk memiliki jamban yang layak dalam setiap rumah dan mudah dijangkau oleh anggota keluarga.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 852 Tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, jamban sehat merupakan fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutus rantai penularan penyakit. Adapun ketentuan syarat jamban sehat menurut Depkes RI (2004), yaitu:

1. Tidak mencemari sumber air minum dan tanah di sekitarnya. Letak lubang penampung berjarak minimal 10-15 meter dari sumber air minum. Pipa pembuangan tinja dan pipa air bersih ataupun air minum tidak boleh bersilangan.
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus
3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak mencemari tanah di sekitarnya
4. Mudah dibersihkan dan aman digunakan
5. Dilindungi dinding kedap air dan atap pelindung
6. Penerangan dan ventilasi yang cukup
7. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai
8. Tersedia air dan alat pembersih

Namun, tidak sedikit juga jamban yang tidak terawat kebersihan dan perawatannya, baik umum maupun milik rumahan. Jika sebuah keluarga telah memiliki jamban, penting juga untuk diperhatikan cara pemeliharaannya. Prosedur pemeliharaan jamban menurut Depkes RI (2004) adalah sebagai berikut:

1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering
2. Di sekeliling jamban tidak ada genangan air
3. Bersihkan jamban secara teratur, sehingga ruang jamban selalu dalam keadaan bersih
4. Tidak ada sampah berserakan
5. Rumah jamban dalam keadaan baik
6. Tidak ada lalat, tikus, dan kecoa
7. Tersedia alat pembersih
8. Segera perbaiki bila ada yang rusak

     Penggunaan jamban sehat merupakan salah satu indikator Program Keluarga Sehat yang dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan dan menjadi salah satu tolok ukur dalam indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kurangnya kesadaran masyarakat dan mungkin juga dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi menyebabkan banyaknya masyarakat yang masih melakukan perilaku BABS. Dengan penggunaan jamban sehat diharapkan dapat mengurangi perilaku BABS, sehingga terwujudnya akses air bersih dan sanitasi bagi semua masyarakat. Akses air bersih dan sanitasi merupakan salah satu target Tujuan Pengembangan Berkelanjutan (SDG) yang telah disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, yang diharapkan akan tercapai pada tahun 2030.


Referensi:
-          Depkes RI. 2007. Rumah Tangga Sehat dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
-          Depkes RI. 2004. Syarat-syarat Jamban Sehat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
-       UNICEF. (2019). Air, Sanitasi, dan Kebersihan (WASH). Diakses pada tanggal 23 April 2020 dari https://www.unicef.org/indonesia/id/air-sanitasi-dan-kebersihan-wash
-         WHO, UNICEF. 2017. Progress on Drinking Water, Sanitation and Hygiene: 2017 Update and SDG baseline
-    Kepmenkes RI, 2008. Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta: Permenkes RI.

Penulis : ADINDA IZZATI LALITA | 21601101077

10 komentar:

  1. artikel yang menarik. saya Avicenna Shafhan Arfi (21601101008) ingin bertanya, bagaimana pendapat adinda terkait minimnya atau bahkan tidak ada nya toilet pada daerah jalur pendakian pegunungan yg menjadi penyebab banyaknya pendaki melakukan BABS? lantas peran dari pihak mana saja yg dibutuhkan agar perilaku BABS bagi pendaki ini dapat diatasi?
    terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima Kasih Avicenna atas pertanyaannya.
      Menurut saya, jika tidak ada toilet pada jalur pendakian, para pendaki bisa melakukan BAB dengan tetap memperhatikan dan menjaga lingkungan sekitar. Bisa dengan menggunakan sekop/alat gali untuk membuat galian sedalam min. 15 cm dgn lebar disesuaikan, jauh dari sumber air dan jalur pendakian maupun jalur migrasi hewan liar, pilih tempat yg datar, dan tidak meninggalkan sampah (tisu, tisu basah,dll), lalu galian ditutup kembali jika telah selesai. Selain itu, pendaki juga dapat memanfaatkan toilet saat di basecamp atau saat masih di area permukiman warga.
      Sangat perlu bagi pemerintah dan warga setempat untuk membantu mengadakan toilet darurat seperti misalnya di Gunung Semeru yg telah disediakan toilet darurat di setiap posnya dengan air bersih yg cukup. Yg jelas, peran dari seluruh masyarakat (petugas gunung, pemerintah setempat, warga sekitar, dan para pendaki) akan sangat berpengaruh. Pemerintah dan warga sekitar membantu pengadaan toilet darurat di tiap pos pendakian, petugas gunung yg menertibkan dan mengingatkan para pendaki tentang aturan BAB di gunung dan melakukan perawatan toilet yg sudah ada, serta para pendaki yg harus memiliki pengetahuan tentang etika BAB di gunung dan memanfaatkan toilet yg ada untuk buang hajat sebelum memulai pendakian. Terima kasih, semoga terjawab pertanyaannya.

      Hapus
  2. Menarik sekali artikel dari penulis ini, tetapi saya masih memiliki pertanyaan mengenai artikel ini, izin bertanya, menurut penulis sendiri bentuk jamban yang bagaimana yang paling tepat untuk penerapan phbs tersebut? Terimakasih
    Denis septian/028

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Denis untuk pertanyaannya. Menurut saya, bentuk jamban yg paling tepat dan yg direkomendasikan adalah bentuk jamban leher angsa (angsa trine) yg mana bagian leher lubang kloset selalu terisi air yg berguna untuk mencegah bau dan mencegah masuknya serangga atau hewan-hewan kecil lainnya. Selain itu jamban bentuk ini dilengkapi dengan bak penampungan atau pengolahan yg disebut septic tank. Septic tank berfungsi sebagai penampungan limbah kotoran manusia dan wadah proses dekomposisi. Jamban dengan septic tank dapat digunakan di daerah padat penduduk karena dapat digunakan untuk menampung dari 3-5 jamban dengan menggunakan multiple latrine, yaitu satu septic tank untuk beberapa jamban. Terima kasih, semoga terjawab pertanyaannya.

      Hapus
  3. Artikel yang menarik. Saya ada pertanyaan, bagaiman cara penerapan jamban sehat di daerah/wilayah yg minim air bersih?terimakasih..
    Fathul mun'iem 21601101074

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Fathul atas pertanyaannya. Pada daerah yg minim air bersih, dapat menggunakan jenis jamban cemplung yg juga sesuai untuk daerah yg tanahnya mudah menyerap air. Jamban cemplung dibuat dengan menggali tanah untuk lubang penampungan sedalam 1,5-3 meter. Tidak boleh terlalu dalam karena dapat mengotori air tanah di bawahnya. Diatas lubang galian, ditutup dengan lantai yg berlubang sebagai alas/dudukan serta dibuatkan dinding dan atap agar lebih aman dan nyaman. Dalam segi Kesehatan, sebenarnya jamban jenis ini kurang higienis karena berbau dan memungkinkan timbulnya hewan seperti serangga, sehingga diperlukan penutup lubang yg bisa dipindahkan saat akan digunakan dan diberikan pipa pembuangan gas, juga dijaga kebersihannya. Perlu diperhatikan juga syarat pembuatan jamban yaitu berjarak min. 10-15 meter dari sumber air/sumur agar tetap terjaga kebersihan sumber airnya yg terbatas itu. Terima kasih, semoga terjawab pertanyaannya.

      Hapus
  4. Terimakasih dinda artikelnya bagus dan berguna. Izinkan saya bertanya. menurut anda, bagaimanaa dengan letak jamban yg berada di luar rumah? karna yg saya tau, di pedesaan masih banyak masyarakat yg jambannya berada di luar rumah. Terimakasih
    Ilma zulfa fatmawati 21601101019

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Ilma pertanyaannya. Menurut saya, letak jamban di luar ataupun di dalam rumah dibolehkan, asalkan masih mengikuti persyaratan-persyaratan yg telah ditetapkan oleh Depkes serta dijaga kebersihan dan perawatannya. Selain itu, yg perlu diingat adalah setiap rumah harus memiliki minimal 1 jamban untuk digunakan oleh keluarga tersebut. Jumlah jamban disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga dalam 1 rumah. Jamban yang digunakan secara umum oleh beberapa keluarga yang tidak tinggal dalam 1 rumah, maka dianggap tidak memiliki jamban keluarga. Sehingga, jika jamban berada di luar rumah, namun masih dapat dijangkau oleh anggota keluarga dan hanya digunakan oleh anggota keluarga yg masih tinggal dalam 1 rumah, maka dibolehkan dan dianggap memiliki jamban keluarga. Terima kasih, semoga terjawab pertanyannya.

      Hapus
  5. Assalamu'alaikum,
    artikel nya menarik. Saya ingin bertanya, menurut penulis apa yang dapat dilakukan pemerintah/kita sendiri sebagai masyarakat, apabila masih ada masyarakat tidak mampu membangun jamban? karena masih banyak masyarakat yang melakukan aktivitas yang seharusnya di jamban tertutup tapi malah di sungai/aliran air terbuka. Terima kasih.

    Zaza Saskia Ayu W. (21601101068)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam, terima kasih Zaza atas pertanyaannya. kepemilikan jamban dalam setiap rumah tetap bisa dilakukan bahkan untuk mereka yg mungkin keadaan ekonominya menengah ke bawah. ada beberapa jenis pilihan jamban mulai dari yg minim biaya. menurut saya, yg penting punya tempat BAB dulu, paling tidak mereka tidak melakukan BABS dan tidak membuang kotorannya ke sumber air ataupun sungai. seperti jamban cemplung, itu bisa digunakan untuk mereka yg ekonominya belum mampu untuk membuat jamban yg direkomendasikan Depkes. dimulai dgn mengurangi perilaku BABS dan mengelola limbah rumah tangga dgn baik, pencemaran pada sumber air dapat berkurang, sehingga air bersih akan lebih mudah didapat dan kesehatan akan meningkat (mengurangi penularan penyakit). dgn begitu, biaya tidak banyak dikeluarkan hanya untuk kesehatan saja, tapi bisa juga untuk membangun jamban yg lebih layak. bisa juga dengan mengikuti program pengadaan jamban sehat yg diadakan oleh pemerintah bagi mereka yg tidak mampu. terima kasih, semoga terjawab pertanyannya.

      Hapus