Kamis, 16 April 2020


FAMILY’S MENTAL HEALTH DURING PANDEMIC
Pada tahun 2020 ini, dunia sedang dihadapkan dengan wabah yang awal dimulai penyebarannya yakni di kota Wuhan provinsi Hubei, China. Upaya pencegahan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah Social Distancing hingga yang terkini adalah memerintahkan agar setiap orang menjaga jarak antara satu dengan yang lain atau physical distancing. Hal ini dikarenakan penyebaran Covid-19 dapat menyebar secara droplets dari air ludah atau sekret ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang sudah dilaksanakan di Jakarta. Pada PERMENKES No. 9 Tahun 2020 pasal 1 yang mengatur PSBB, menjelaskan bahwa ini merupakan upaya pencegahan meluasnya penyebaran Covid-19 di Indonesia. Dalam pelaksanaannya PSBB mengatur peliburan sekolah, tempat kerja, kegiatan keagamaan, tempat umum, moda transportasi dan kegiatan lainnya. Tentu hal ini dapat membuat penyebaran Covid-19 menjadi lebih sedikit, namun juga dapat menimbulkan masalah lain. Antara lain adalah kesehatan mental ketika pandemi sedang berlangsung.
Pada penelitian psikososial ketika pandemi, didapatkan kriteria gejala PTSD sekitar 30% pada anak-anak hingga remaja berdasar laporan dari orang tuanya, dan 25% kriteria gejala PTSD pada orang tua. Hal ini disebabkan karena trauma akibat karantina dan isolasi. Pandemi memang tidak dapat diprediksi, sehingga kesempatan untuk membuat perencanaan menghadapi pandemi pada setiap orang dan keluarganya tidak dapat dilakukan. Penelitian lain yang dilakukan pada 549 orang pegawai rumah sakit di Beijing, menjelaskan pegawai rumah sakit yang menjadi tenaga medis ketika outbreak SARS pada tahun 2003, didapatkan 10% responden memiliki tingkat gejala post traumatic stress (PTS) yang tinggi. Mereka yang bekerja di lokasi dengan resiko paparan yang tinggi, atau memiliki teman atau kenalan yang terinfeksi daripada yang sama sekali tidak mendapat paparan, memiliki gejala PTS 2 hingga 3 kali lebih tinggi. Manusia adalah mahkluk sosial dimana kelompok paling terkecilnya adalah keluarga. Ketika terjadi pandemi, dan diberlakukannya isolasi sosial, akan memberikan dampak pada keluarga. Pada seminar yang dilakukan secara daring tanggal 11 April 2020 via Whatsapp dengan narasumber yakni dr. Diyaz Syauki Ikhsan, Sp.KJ yang merupakan anggota PDSKJI Sumbangsel, menjelaskan bahwa dampak isolasi sosial pada keluarga adalah putusnya rantai interaksi keluarga beserta anggotannya dengan lingkungan dan putusnya akses terhadap aset lingkungan, sehingga keluarga akan bergantung pada interaksi didalamnya. Potensi stressor pada saat isolasi sosial dalam keluarga juga akan meningkat karena tidak adanya kesetimbangan mental dalam keluarga. Orang yang sebelumnya tidak memiliki masalah mental bisa mengalami psikopatologi, dan antara keadaan wajar dan tidak, menjadi bias.
Pada masa isolasi sosial, juga terdapat potensi aset yang bisa dimanfaatkan. Potensi aset yang bisa dimanfaatkan adalah refleksi dan kembali mengenal sesama anggota keluarga, menghidupkan tradisi-tradisi lama seperti melakukan kegiatan bersama yang dimana ketika sebelum pandemi tidak dapat dilakukan, nostalgia antar anggota keluarga, dan melakukan hobi bersama atau secara bergantian. Potensi ini dapat membuat komunikasi di dalam keluarga menjadi lebih intens. Salah satu aset terbesar adalah anggota keluarga itu sendiri, karena interaksi antar keluarga dapat membentuk self-sustaining family. Antar anggota keluarga dapat saling membantu mencukupi kapasitas mental satu dengan yang lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah beradaptasi dengan perubahan, perlakuan, dan perilaku yang baru. Jika anggota keluarga dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut, maka kebutuhan emosional antar anggota keluarga akan saling tercukupi. WHO dalam handout Dukungan Kesehatan Jiwa Psikososial menuturkan perasaan sedih, tertekan, khawatir, takut atau marah saat kritis itu normal. Jika harus tetap tinggal dirumah maka diharuskan menjaga gaya hidup sehat, tetap berhubungan dengan kerabat, dan menemukan peluang untuk mengenal keluarga sendiri lebih dalam.
“Do what you can, with what you have, where you are.” – Theodore Roosevelt.

Daftar Pustaka :
1.      Wu, P., Fang, Y., Guan, Z., Fan, B., Kong, J., Yao, Z., ... & Hoven, C. W. (2009). The psychological impact of the SARS epidemic on hospital employees in China: exposure, risk perception, and altruistic acceptance of risk. The Canadian Journal of Psychiatry54(5), 302-311.
2.      Sprang, G., & Silman, M. (2013). Posttraumatic stress disorder in parents and youth after health-related disasters. Disaster medicine and public health preparedness7(1), 105-110.
3.      World Health Organization. Catatan tentang aspek kesehatan jiwa dan psikososial wabah COVID-19 Versi 1.0. WHO; 2020.

Penulis : Denatha Bagus Ahmad Muhammad / 21601101030

27 komentar:

  1. Wah bagus sekali materi yang diangkat...
    izin bertanya bang dena...
    saya M. Alfian Akrama A. Nim 21601101109
    Bagaimana mengatasi mental heatlth selama pandemi dalam pendekatan keluarga bila antar anggota keluarga itu tidak dekat...
    semisal ayah dan anak yang tidak dekat, atau hubungan suami istri yang kurang harmonis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo alfian,pertanyaannya bagus, bagaimana kalau sedari awal sebelum pandemi keluarga tersebut tidak harmonis. Menurut saya, mari berpikir bahwa ada yang harus diutamakan disaat pandemi, yaitu kesehatan bersama. Bagaimana?
      1. Biasakan diri dengan keadaan terlebih dahulu.
      2. Berinteraksi tidak harus saling memuji, tetapi membicarakan topik yang umum, misalnya tujuan, halangan, dan lain-lain.
      3. Mungkin sejenak pada pribadi yang saling bertentangan akan ada perselisihan namun usahakan untuk mengalah terlebih dahulu. Take a steps backwards may give a better view of everything.
      4. Sebisa mungkin hindari perselisihan yang tidak penting, namun jangan sampai tidak berinteraksi.

      Kembali lagi, tujuan yang utama adalah bagaimana bisa survive ketika pandemi berlangsung. Mungkin dengan keadaan ini akan membuat semua anggota keluarga saling merefleksi diri.

      mungkin begitu pendapat saya alfian, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
  2. Assalamualaikum wr wb
    saya Abdi Firdaus M. 21601101075. izin untuk bertanya
    pada artikel dijelaskan bahwa diadakannya social distancing dan stay at home sekarang ini dapat memungkinkan untuk mengenal keluaga lebih dekat, jika yang terjadi pada saat ini ayah dan ibu dalam satu tempat tinggal di kota A sedangkan anaknya satu satunya berada di kota B dan hanya tinggal sendiri. menurut anda apa yang harus dilakukan sebagai anak? apakah harus pulang ke rumah bersama orang tua atau tetap tinggal? berikan alasan dan berikan hal positif dan negatif yang dapat berdampak pada keluarga tersebut

    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam Warrahmatullah abdi, wah menarik juga pertanyaannya, ini juga related dengan kemungkinan batasan mudik yang akan mungkin terjadi ya hehe.
      Menurut saya tidak mungkin orang akan bahagia ketika kebahagiannya berpotensi hilang, salah satunya bertemu dengan keluarga. Lalu bagaimana sikap kita? relate dengan perasaan, yang memiliki manifestasi pada pikiran dan perilaku kita. Tentu kita mengharapkan semuanya seimbang sehingga dalam mempertimbangkan risk dan benefitnya dapat obyektif. Jadi intinya sebaiknya ditunda untuk pulang terlebih dahulu, karena nyawa itu bergantung pada kesehatan fisik kita yang utama.
      Untuk pertanyaan kedua, dalam keadaan tersebut juga akan mempengaruhi orang tua, dimana menginginkan anaknya untuk juga bisa berkumpul bersama, tentu hal negatif yang terjadi adalah potensi meningkatnya stressor baik pada anak dan juga orang tua.

      Kesimpulan jawaban yang bisa saya sampaikan adalah menanganinya dengan melihat kanan dan kiri kita, orang yang senasib dengan kita. Hal tersebut akan memicu perbaikan emosional sehingga membantu ego dalam meregulasi emosi.

      Mungkin begitu yang bisa saya sampaikan abdi, terima kasih sudah betanyaa

      Hapus
  3. Bagus,Topi artikel yang diangkat sangat menarik dan informatif
    Izin bertanya kepada penulis
    Saya Ariel Brilliant Islami NIM 21601101040
    Menurut penulis, peran apa sih yang bisa kita ambil dalam rangka menurunkan tingkat PTSD di suatu dearah yang terkena panndemi? terutama sebagai mahasiswa/orang yang terpelajar.

    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo aril, bagaimana kita bisa menurunkan tingkat PTSD daerah yang terdampak pandemi? menurut saya bagian penanganan PTSD sendiri haruslah dilakukan oleh dokter Sp.KJ / psikiater setelah pandemi berakhir. Namun kita juga bisa membantu menangani hal tersebut setelah pandemi berakhir yakni :
      1. mempersiapkan rencana ketika akan terjadi pandemi dimasa mendatang
      2. membuat kelompok bersama dalam upaya meningkatkan terhindarnya potensi stressor katastropik
      Tentu, menurut saya juga hal-hal ini sering dilakukan ketika terjadi bencana yang biasa disebut trauma healing. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
    2. wahhh, terima kasih dena
      jawabannya memuaskan, semoga kakak bisa menjadi dokter yang amanah.. Amiin

      Hapus
  4. Assalamu'alaikum wr.wb. Wah bagus sekali artikelnya ka, Saya Risna Bekty Karyani ingin bertanya sehubungan dengan hal distas. Apabila seseorang sudah terkena PTSD disituasi sekarang yang sedang pandemi corona ya, menerut kak deden apa langkah yang harus dilakukan seorang dokter dalam kasus seperti itu? Terimkasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam Warrahmatullah, wah bagus pertanyaannya risna..
      Menurut saya pada kasus seperti ini, yang paling baik adalah memastikan terlebih dahulu apakah hal tersebut adalah kriteria PTSD atau hanya kecemasan. Kalau misalkan memang PTSD, maka wajibnya bagi dokter menyediakan pelayanan dukungan kesehatan jiwa. Ketika pandemi, antara wajar dan tidak itu bias, saya contohkan seperti dulu seseorang jarang membersihkan tangannya, sekarang ketika pandemi orang rajin sekali atau bahkan berlebihan membersihkan tangan yang dimana itu merupakan salah satu ciri OCD. Nah, juga WHO menjelaskan guideline bagaimana seorang dokter memberikan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial seperti intervensi kesehatan jiwa harus dilaksanakan dalam layanan kesehatan umum (termasuk pelayanan kesehatan primer) dan diatur dalam struktur yang ada dalam masyarakat. Selain itu memperkuat struktur pengasuhan lokal yang dapat dilakukan oleh tokoh dalam masyarakat termasuk pemimpin atau pemuka agama yang dipercaya menjadi penyedia garis depan dukungan psikososial bagi komunitasnya.
      Mungkin itu jawaban yang bisa saya sampaikan risna, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
  5. Assalamu'alaikum wr.wb. nama saya Riza Ma'rufin 21601101035 mau tanya, apa bila seseorang atau salah satu keluarga terinfeksi Covid-19. dukungan seperti apa sih yang diberikan kepada yang terinfeksi??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam Warrahmatullah, wah iya, dukungan seperti apa yang diberikan kepada yang terinfeksi? menurut saya kondisi dimana pandemi yang belum ada pengobatan pasti dan melihat angka kematian yang tinggi tentu bagi penderita merupakan stressor yang sangat tinggi. Upaya dukngan psikososial tersebut sudah diatur dalam pemebrian pelayanan secara holistik. Mungkin lebih tepatnya bagaimana dukungan kita sebagai masyarakat yang mengetahui adanya tetangga yang terinfeksi yaitu dengan menghilangkan stigma. Dalam menghadapi stigma kita tidak perlu agresif, menghadapi bukan melawan. Mengahdapi stigma tersebut dengan cara memberikan perhatian positif, saling memberi hal kecil satu dengan lain, atau melakukan hal yang bisa dilakukan bersama ketika isolasi berlangsung. Perhatian yang lain adalah memberikan konseling kepada keluarga orang yang terinfeksi karena keluarga menjadi sasaran stigma yang paling banyak. Mungkin seperti itu jawaban yang bisa saya berikan, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
  6. Assalamualaikum ijin bertanya kepada abang bagus,
    (Muhammad iqbal sugiharto/21601101066)
    Yang saya tanyakan, saya mendapat i kasus, sebelumnya ada teman kami yang berkunjung ke kontrakan pada waktu sore hari, mqghriblah jam jam segitu, nah ketika teman saya berkunjung ke kontrakan ada seseorang lewat depan rumah dan mengatakan, mas mohon maaf di perumahan ini tidak menerima tamu ya( intinya orang tersebut mengusir secara halus tamu2 yang datang dan ingin berkunjung di kontrakan) nah kalau boleh tau tindakan seperti ini apa termasuk dalam krisisnya kesehatan mental ya?? Kalau iya mungkin bisa di jelaskan, kerisis yang bagaimana atau seperti apa, dan di berikan solusinya, jika tidak termasuk apa yg terjadi pada warga/orang tersebut??
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam Warrahmatullah ikbal, wah bagus juga ini pertanyaannya, jadi sempat saya mengikuti seminar daring yang disampaikan oleh dr. Diyaz Syauki Ikhsan Sp.Kj beliau mengatakan bahwa itu merupakan hal yang wajar ketika pandemi. Mengapa? karena pada saat ini masyarakat sedang mengalami peningkatan tingkat kewaspadaan. Perasaan sedih, khawatir, takut, bingung, dan marah saat krisis itu normal. Lalu bagaimana menghadapinya? sama seperti yang saya jelaskan diatas mengenai stigma bahwa stigma dihadapi bukan dilawan. Memberikan afeksi postif akan lebih baik daripada saling membenarkan, karena bagi seseorang yang lewat didepan rumah ikbal, tamu yang berkunjung dirumah ikbal adalah orang yang ditakutkan menyebarkan covid19 walaupun mungkin juga tidak.
      Mungkin seperti itu yang bisa saya jawab, terima kasih sudah bertanya yaa

      Hapus
  7. Sungguh menarik hehehe,
    Yg menarik perhatian saya, diatas menyebutkan bahwa secara keseluruhan tidak sampai 40% orang mengalami ptsd selama pandemi, berarti lebih dari setengahnya, yaitu 60% orang sisanya yg tidak mengalami hal tersebut bukan. Apa yg menyebabkan mereka2 ini dapat melewati stressor yg sama yaitu pandemi? Apakah mungkin ada penelitian yg meneliti 60% orang ini dan mencari tau bagaimana mereka melewatinya dan apa hal itu bisa di berlakukan untuk 40% orang sisanya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo zahra, sayangnya pada jurnal tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana seseorang tersebut tidak mengalami PTSD, namun dijurnal lain mengatakan bahwa pengaruh stressor tergantung bagaimana seseorang mempersepsikan kejadian tersebut dan bagi petugas medis yang disebutkan di jurnal saya kutip mengatakan bahwa petugas medis yang berjiwa alturisme atau tidak mementingkan diri sendiri dan berusaha menonolong, tidak memiliki stressor yang tinggi. Mungkin begitu jawaban yang bisa saya sampaikan, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
  8. Assalamualaikum wr wb, terimakasih kak Denatha artikelnya sangat bermanfaat. Saya Deanita YM Nim 21601101073. Saya ingin bertanya.. menurut kak Deden, bagaimana jika dalam anggota keluarga, ada yang saling tidak suka/benci satu sama lain, misalnya hubungan antara suami istri itu tidak baik dan sering bertengkar.. bukan kah bila mereka bersama sama dalam 1 rumah untuk waktu yang lama tanpa jeda akan dapat meningkatkan stress masing - masing dari mereka, padahal harus tetap di rumah. Menurut kak Deden untuk masalah ini solusinya bagaimana? Terimakasih banyak, wassalamualaikum wr wb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumussalam Warrahmatullah, hai deanitaa, wah pertanyaanya sama seperti pertanyaan alfian. Perlu ditekankan lagi yaa bahwa tujuan yang utama adalah bagaimana bisa survive ketika pandemi berlangsung. Tentu bagaimana cara mengubah potensi stressor menjadi potensi aset seperti yang sudah saya jelaskan di artikel diatas. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah bagaimana dalam satu keluarga tersebut merefleksi diri. Dan perlu diingat, HINDARI perselisihan yang tidak penting. Ketika terjadi perselisihan, sebaiknay untuk saling mengalah, namun bukan berati tidak berinteraksi. Mungkin dengan keadaan ini akan membuat semua anggota keluarga saling merefleksi diri. Semoga bisa menjawab pertanyaan deanita yaa, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
    2. Ohhh jadi begitu saya paham terimakasih banyak kak Denatha jawabannya, :)

      Hapus
  9. Ijin bertanya
    perkenalkan nama saya Muchammad Sulthon Yassar Tawasulloh NIM 21601101084
    tolong dijelaskan bagaimana mekanisme seseorang bisa trauma karantina dan isolasi? apakah hanya karena mereka berpikir bahwa karantina atau isolasi merupakan suatu hal yang mengerikan? atau bagaimana? karena menurut saya pengertian PTSD sendiri itu berupa bencana atau kejadian traumatis dan dalam buku saku ppdgj itu juga dejalaskan bahwa
    "Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
    setelah kejadian traumatis berat (masa laten berkisar antara beberapa monggu
    sampai beberapa bulan , jarang melampaui 6 bulan),
    Kemungkinan diagnosa masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
    saat kejadian dan onset gangguan melebihi 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
    adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya
     Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didaoatkan bayang-bayang atau mimpi
    –mimpi dari kejadian traumatik secara berulang-ulang kembali (flashback).
     Gangguan otonomil, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
    mewarnai diagnosis, tetapi tidak khas.
     Suatu “sequele” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa misalnya
    saja beberapa puluh tahun setelah bencana, diklasifikasikan dalam katagori F 62.0
    (perubahan kepribadian yang berlangsung setelah kejadian katas trofi"
    atau mungkin hal ini bukan merupakan PTS(D) tetapi gangguan panik atau mungkin ganngguan cemas?
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai sulthon, terima kasih sudah bertanya, izinkan saya menjawab yaa
      Benar, bahwa PTSD pengertiannya sesuai dengan yang kamu sebutkan. Menurut saya, pengalaman traumatis seseorang dengan orang yang lainnya berbeda dalam bagaimana memahami pengalaman tersebut. Pengalaman ketakutan, khawatir, juga menjadi salah satu faktor pemberat ketidaksetimbangan mental seseorang. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua trauma akan memberikan pengaruh terhadap gangguan PTSD. Beberapa literatur menjelaskan support sosial berpengaruh terhadap PTSD walaupun masih diperdebatkan. Intinya, stressor yang tinggi dapat memberikan manifestasi gangguan jiwa, baik stressor tersebut adalah isolasi, kontak dengan penderita secara langsung atau keluarga yang terjangkit, dan stressor tersebut berpengaruh pada bagaimana seseorang mempersepsikannya. Mungkin bisa sedikit menjawab pertanyaan sulthon, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus
  10. Nama saya dewi damayanti 21601101020 sebelum saya bertanya disini saya ingin berkomentar bahwa penulisan artikel ini sangat menarik sekali dan di jelaskan dengan runtut
    Saya ingin bertanya kepada penulis, apa saja kriteria gejala PTSD dan menurut penulis apakah ada peran dokter keluarga terhadap dampak bagi suatu keluarga yang mengalami karantina dan isolasi?
    Terimakasih wassalamualaikum
    Semangat deden

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Dewi, kriteria PTSD bisa kamu temukan di buku PPDGJ untuk yang lebih lengkap yaa, tapi menurut penulis PTSD bisa ditegakkan apabila terdapat gangguan setelah 6 bulan kejadian traumatis, gangguan tersebut harus berupa mimpi kejadian yang berulang, memberatnya afeksi, dan kejadian yang berlanjut bertambah parah. Sebagai dokter keluarga, menurut penulis adalah bagaimana dokter keluarga mengembalikan kesehatan keluarga tersebut secara paripurna dan komprehensif, baik fisik maupun psikis. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, terima kasih sudah bertanyaa

      Hapus