Dewasa ini pandemi
COVID-19 tengah mewabah dengan membawakan dampak ketakutan dan kekhawatiran
pada seluruh masyarakat di banyak negara. Upaya penanganan Covid-19 yang sedang
dicanangkan oleh WHO dan pemerintah Indonesia sendiri saat ini salah satunya adalah
self-quarantine dan physical distancing. Selain itu kantor –
kantor dan sekolah – sekolah diliburkan, serta tempat – tempat publik dibanyak
tempat juga tak terhindarkan dari penutupan secara masal selama pandemi
COVID-19 ini tengah berlangsung. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kontak
antar individu yang sehat dengan individu yang mungkin tengah terinfeksi
COVID-19. Menurut WHO penyebaran COVID-19 sendiri dapat terjadi pada individu
yang saling berdekatan kurang dari 2 meter. Penyebaran ini terjadi ketika orang
yang terinfeksi COVID-19 mengalami batuk, bersin, atau berbicara. Studi terbaru
dari WHO menyebutkan bahwa orang dengan tanpa gejala COVID-19 juga dapat
menyebarkan virus ini. Dari resiko tersebutlah maka WHO dan pemerintah
Indonesia menerapkan kebijakan tersebut untuk mengurangi potensi penyebaran
dari virus ini. Akan tetapi, kebijakan ini juga banyak berdampak pada kesehatan
mental, seperti stress yang berlebih, mudah cemas, didapatinya gejala
psikosomatis hingga pada lansia kebijakan ini bahkan mampu menyebabkan gangguan
mood, gangguan kognitif serta dementia.
Dari hal tersebut maka
pengelolaan stress selama wabah COVID-19 merupakan hal penting yang perlu
diperhatikan. Dari studi Mak I.W pada 2009 menyebutkan saat dunia menghadapi
SARS pada tahun 2002-2003 sekitar 25% masyarakat penyintas SARS mengalami PTSD,
sedangkan 15,6% lainnya mengalami depresi berat. Tidak hanya masyarakat umum
saja, menurut studi Lee SM dkk pada 2018 menyebutkan tenaga medis yang
merupakan garda terdepan dalam penanganan SARS saat itu juga mengalami gangguan mental. Sekitar
18-57% tenaga medis saat itu mengalami gangguan mental seperti gangguan
emosional, PTSD, depresi, sampai kecemasan. Hal ini juga didukung akibat stigma
masyarakat mengenai tenaga medis yang mampu menyebarkan penyakit, menyebakan
tingkat stress dari tenaga medis semakin tinggi. Dari data – data studi
tersebut seharusnya penanganan kesehatan mental dan stress saat COVID-19 tengah
mewabah perlu diperhatikan. WHO sebenarnya sudah memberikan protokol penanganan
kesehatan mental dan stress selama COVID-19 berlangsung, namun di Indonesia
sendiri penanganan kesehatan mental dan stress belum banyak dicanangkan.
Salah satu penanganan
yang dicanangkan WHO untuk menjaga kesehatan mental selama wabah COVID-19 ini
berlangsung antara lain seperti mengurangi menonton, membaca dan mendengarkan
berita, termasuk berita atau sekadar sebuah postingan di media sosial mengenai
berita COVID-19. Dimana Hal ini diperlukan dalam rangka untuk mengurangi stress.
Mengikuti berita perkembangan mengenai COVID-19 sebenarnya masih diperbolehkan,
akan tetapi harus dibatasi dengan membaca berita sekitar 1-2x sehari dengan
lebih banyak membaca berita – berita mengenai COVID-19 yang lebih positif.
Misalnya membaca kisah orang yang pulih dari COVID-19 atau gerakan dukungan
kepada pasien. Selain itu, menjaga kesehatan fisik dan jasmani selama wabah
COVID-19 juga diperlukan, seperti tetap berolahraga dan konsumsi makan –
makanan yang sehat. Tidak lupa, luangkan waktu bersantai untuk melakukan
aktivitas yang digemari, seperti melakukan hobi misalnya. Selain itu usahakan
tetap terhubung dengan orang kita cintai seperti keluarga ataupun sahabat untuk
mengurangi rasa cemas dan khawatir dengan bercerita melalui telfon maupun media
sosial. Dan terakhir hindari gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, konsumsi
allkohol, dan obat – obatan terlarang.
Created By : Mohammad Alfian Akrama Arrasyid / 21601101109
Sumber :
1.CDC-DPDx. 2020. COVID-19 – Prevention.
USA.
(https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/prevent-getting-sick/prevention.html
Diakses 7 April 2020)
2.CDC-DPDx. 2020. COVID-19 – Managing
Stress Anxiety. USA.
(https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-coping/managing-stress-anxiety.html
Diakses 7 April 2020)
3.Lee SM, Kang WS, Cho AR, Kim T, Park
JK. 2018. Psychological impact of the 2015 MERS outbreak on hospital workers
and quarantined hemodialysis patients. Compr Psychiatry. 87:123-127.
10.1016/j.comppsych.2018.10.003
4.Mak IW, Chu CM, Pan PC, Yiu MG, Chan
VL. 2009. Long-term psychiatric morbidities among SARS survivors. Gen Hosp Psychiatry.
2009, 31:318-326. 10.1016/j.genhosppsych.2009.03.001
5.Yurianto, Achmad. 2020.
Revisi Perarutan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi COVID-19 nomor:
HK.02.02/III/753/2020. Jakarta. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Kak, aku pernah baca kalo angka perceraian di china meningkat waktu korona ini. Apa ada hubungannya sama hal diatas ya kak? Trus itu kenapa sih sebenernya kak?
BalasHapusterimakasih ka atas pertanyaannya...
Hapusdari sumber - sumber yang saya baca angka perceraian di china itu dapat meningkat salah satu akibatnya adalah karna banyak pasangan di negara tersebut yang menghabiskan terlalu banyak waktu sendiri akibat isolasi dari COVID-19 itu sendiri... hal ini membuat hubungan suami istri yang sblmnya harmonis karna komunikasi, menjadi memburuk akibat kurangnya komunikasi antar pasangan tersebut. Membuat bika terdapat konflik kecil yang dapat selesai sebenarnya dengan komunikasi membuat tidak dapat terselesaikan akibat kurangnya komunikasi dan lebbih memilih buru2 untuk menyelesaikannya dengan perceraian... padahal hal tersebut merupakan salah satu langkah gegabah yang mereka ambil...
Hubungannya dengan hal diatas adalah...
karantina sendiri memang bertujuan untuk melindungi kita dari wabah covid-19 ini.... akan tetapi tetap berhubungan dengan org yang kita cintai itu sangat diperlukan... selain mendapatkan support secara mental... menurut WHO, 2020 dengan berhubungan dengan org yang kita cintai hal ini membuat hubungan dengan pasangan, keluarga, bahkan sahabat menjadi lebih dekat dan dapat menghindarkan diri dari stress dan rasa cemas...
Siap ka, thanks ya hehe
HapusAssalamu'alaikum kak alfian.. terima kasih atas uploadan artikelnya.. artikelnya sangat menarik untuk dibaca..
BalasHapusSaya mau tanya, artikel kak alfian ada disebut gejala psikosomatis, yang ingin saya tanyakan gejala psikosomatis seperti apa yang akan timbul di era covid 19 ini?
waalaikumsalam...
HapusMohon maaf mungkin nama dan nim nya bisa disebutkan setelah ini...
terimakasih atas pertanyaannya...
hal tersebut sangat mungkin untuk terjadi ...
Psikosomatis terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah. Istilah gangguan psikosomatis digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas.
Normalnya tubuh akan merespon bila terdapat sebuah bahaya/ancaman...
namun org yang psikosomatik memiliki reaksi berlebbih dalam menanggapi respon bahaya ini bahkan di manifestasikan dengan gejala fisik...
sebenarnya saat ini banyak sekali disosial media menyebutkan bahwa mereka seperti merasakan batuk atau tenggorokan sakit bahkan sesak... padahal mereka tidak memiliki gejala atau riwayat sakit bahkan faktor resiko untuk mengalami sakit tersebut...
hal ini dipastikan menurut banyak para ahli adalah akibat dari adanya gejala psikosomatis ini...
akibat dari karantina berskala besar dan membuat banyak tempat publik untuk ditutup membuat banyak org mengalami stress dan merasakan ceman... yang pada beberapa org dapat ter manifestasikan dengan gejala psikosomatis itu sendiri
semoga dapat menjawab
Ohiya kakk mohon maaf, tadi ada kesalahan teknis dan lupa mencantumkan nama dan nim.. Terima kasih atas jawabannya kakk.. semoga ilmunya barokah dunia dan akhirat.. Aamiinn..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya Deanita YM (21601101073), terimakasih atas artikelnya yang sangat bermanfaat, saya ingin bertanya.. untuk pasien yang memliki penyakit tertentu seperi DM, penyakit cardiovaskuler, dan pernafasan, saya mendengar bahwa mereka terindikasi mengalami sakit yang lebih parah, tentunya mereka kemungkinan dapat mengalami stress dan cemas yang berlebih daripada orang yang sehat.. menurut kak Alfian... apakah ada cara khusus untuk dapat menenangkan orang2 ini? Apabila ada mohon pendapatnya karena akan sangat membantu, apabila tidak ada... ndapapa, terimakasih banyakk atas artikelnya :)
BalasHapusTrimakasih atas pertanyaannya deanita...
Hapusbagus sekali pertanyaannya...
menurut saya manajemen stress dan cemas untuk pasien2 yang beresiko seperti pasien DM, penyakit cardiovaskuler, dan pernafasan itu sama seperti pada umunya...
akan tetapi cara intervensi manajemen stress dan kecemasannya bisa dberikan lebih intens dan dengan cara yang lbih berfariatf.....
misalnya....
di who dsebutkan untuk mengurangi membaca berita...
yang menurut who 1-2x sehari... untuk pasien2 ini lebih dikurangi... atau lebih menambah berita2 mengenai pasien sembuh agar termotivasi...
Selain itu luangkan waktu bersantai untuk melakukan aktivitas yang digemari, seperti melakukan hobi apapun yang positif...
sperti bila suka membaca perbanyak membaca cerita org yang sembuh dari sebuah penyakit misalnya...
atau untuk orang yang memiliki hobi menyanyi...
dapat melakukan konser online melalui sosial media
dan dapat menebarkan semangat positif agar org lain juga bisa lebih semangat dan termotivasi misalnya...
juga tidak lupa usahakan selalu terhubung dengan keluarga...
agar motivasi pasien untuk sembuh semakin tinggi...
dengan selalu menelfon keluarga atau video call dengan keluarga misalnya
Sebenarnya tidak terlaluu berbeda dengan yang saya sebutkan diatas... hanya disesuaikan dengan pribadi pasien nya dan cara atau intensitas manajemen pengurangan stressnya yang disesuaikan
semoga bisa menjawab
Terimakasih banyak kak Alfian atas jawabannya, sangat bermanfaat :)))
HapusAssalamu'alaikum kak alfian.. mohon maaf tadi tidak keluar nama saya, jadi saya ketik ulang.. Saya Nabila Ainur Rochim/ 21601101053.. terima kasih atas uploadan artikelnya.. artikelnya sangat menarik untuk dibaca..
BalasHapusSaya mau tanya, artikel kak alfian ada disebut gejala psikosomatis, yang ingin saya tanyakan gejala psikosomatis seperti apa yang akan timbul di era covid 19 ini?
waalaikumsalam...
Hapusterimakasih atas pertanyaannya...
hal tersebut sangat mungkin untuk terjadi ...
Psikosomatis terdiri dari dua kata, pikiran (psyche) dan tubuh (soma). Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, di mana pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit muncul atau menjadi bertambah parah. Istilah gangguan psikosomatis digunakan untuk menyatakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor psikis atau mental, seperti stres dan rasa cemas.
Normalnya tubuh akan merespon bila terdapat sebuah bahaya/ancaman...
namun org yang psikosomatik memiliki reaksi berlebbih dalam menanggapi respon bahaya ini bahkan di manifestasikan dengan gejala fisik...
sebenarnya saat ini banyak sekali disosial media menyebutkan bahwa mereka seperti merasakan batuk atau tenggorokan sakit bahkan sesak... padahal mereka tidak memiliki gejala atau riwayat sakit bahkan faktor resiko untuk mengalami sakit tersebut...
hal ini dipastikan menurut banyak para ahli adalah akibat dari adanya gejala psikosomatis ini...
akibat dari karantina berskala besar dan membuat banyak tempat publik untuk ditutup membuat banyak org mengalami stress dan merasakan ceman... yang pada beberapa org dapat ter manifestasikan dengan gejala psikosomatis itu sendiri
semoga dapat menjawab
Jadi gitu yaa kak alfian.. terima kasih atas jawabannya kakk.. semoga ilmunya barokah dunia akhirat.. Aamiinn..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Saya Zaza Saskia (21601101068), bahasan artikelnya menarik. Saya ingin bertanya, dari contoh cara mengurangi stress di tengah situasi ini yang sudah dijelaskan sebelumnya yaitu "mengurangi menonton, membaca dan mendengarkan berita, termasuk berita atau sekadar sebuah postingan di media sosial mengenai berita COVID-19 dapat", bisakah Alfian beri contoh bagaimana cara menangani stress yang akan bermanfaat bagi masyarakat biasa namun sekaligus dapat menurunkan tingkat stress para tenaga medis? Terima kasih sebelumnya :)
BalasHapusWaalaikumsalam wr wb
HapusTerimakasih Zaza atas pertanyaanya...
sebenarnya kalau menurut who tidak banyak yang berbeda juga si...
mengutip dari jawaban saya berikan pada saudari deanita...
sebenarnya hampir sama... namun cara intervensinya lebih sedikit berbeda...
seperti...
selalu mengusahakan waktur istirahat d jam kerja...
karena dengan istirahat yang cukup bisa mengurangi dari stress tenaga medis...
selain itu hindari stress di tempat kerja dengan tetap berhubungan dengan sahabat/ kolega/ sejawat dan keluarga / pasangan....
dan perbanyak berdoa (sholat untuk muslim)..
dimana berdoa merupakan salah satu cara meditasi terbaik untuk mengurangi stress
Merasa stress dan cemas merupakan hal normal dalam situasi saat ini
tenaga medis saat ini mungkin merasa tidak cukup berhasil, merasa banyak tuntutan, tudingan stigma negatif dari masyarakat, dan
ditambahnya adanya tekanan tambahan seperti harus mengikuti prosedur K3 yang ketat.
namun dengan manajemen stress yang sudah saya sebutkan tadi...
hal ini dapat d redam...
akan tetapi bila dengan hal tersebut tenaga medis masih merasakan stress berat dan kecemasan berlebih...
segera melaporkan diri dan melakukan pengobatan agar segera tertangani...
dokter kan juga manusia :))
"Make yourself Safe First, then others"
Ingin bertanya kalau tidak salah daru WHO mengatakan social distancing itu di ganti physicial distancing, itu kenapa di ubah dan tujuanya untuk apa ya kalau boleh tau, atau beda penerapanya seperti apa terimakasih??
BalasHapusTrimakasih atas pertanyaannya saudara iqbal....
HapusOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai menggunakan frasa physical distancing atau jarak fisik daripada social distancing
mengapa? jadi menurut Ahli Epidemiologi WHO, Maria Van Kerkhove, menjelaskan bahwa menjaga jarak fisik sangat penting di tengah pandemi global COVID-19 ini.
Dimana dengan kita melakukan physical distancing tidak berarti bahwa secara sosial kita harus memutuskan hubungan dengan orang yang kita cintai seperti keluarga.
Padahal dengan keluargalah salah satu penyemangat dan motivasi suatu individu tersebut dapat bertahan hidup....
intinya... dengan physical distancing kita tidak harus berjauhan dengan keluarga secara sosial namun tetap harus menjaga jarak fisik dengan keluarga...
bagaimana prakteknya...
misalnya spt sekalipun kita karantina d rumah... kita tetap harus menjaga jarak dengan keluarga, namun tetap terhubung dengan saling bertelfon d rumah misalnya...
seperti itu...
semoga bisa menjawab pertanyaan saudara iqbal
Assalamu'alaikum wr.wb.
BalasHapusTerimakasih kak alfian, artikelnya sangat bagus dan bisa menambah wawasan dalam menggadapi pandemi covid-19[. Saya Risna Bekty Karyani (21601101043) izin bertanya kak. Belum lama ini ada kejadian warga yg menolak jenazah perawat yang meninggal karena covid-19 padahal perawat ini juga ikut dalam penanganan covid-19 di sal[ah satu RS. Apakah kejadian yang dilakukan warga tersebut juga dampak psikologisnya? Terimakasih.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Waalaikumsalam wr wb
Hapusterimakasih saudari risna...
iya, menurut saya hal semacam itu merupaka salah satu bentuk dari kecemasan warga mengenai wahab ini...
bagaimana bisa?
dengan info dan pengetahuan mereka secara terbatas...
hal - hal semacam ini lumrah terjadi...
apalagi hoax hoax banyak sekai menyebar di kalangan warga saat ini...
bagaimana cara mengatasinya...
pemerintah harus bisa gencar memberikan info mengenai covid ini dan memusatkannya pada satu portal tertentu...
agar simpang siur mengenai berita wabah COVID-19 ini bisa teratasi...
dan tidak menimbulkan kecemasan yg berlebih....
semoga dapat menjawab pertanyaan saudari risna
Baik. Trimakasih untuk jawabannya :)
HapusWaaah😀 terimakkasih banyak kak alfian telah menambah wawasan saya dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini. semoga kita salalu diberi kesehatan dan kesabaran, aamin🙏🏻 😊
BalasHapuswaah bagus sekali..terimakasih informasinya :) kini aku tidak lagi depresi karena memikirkan virus ini :)
BalasHapusselamat membaca kak...
Hapus